Jatuh Cinta Pada Orang yang Tidak Tepat

Jatuh Cinta Pada Orang yang Tidak Tepat

Maafkan jika judul postingan saya kali ini terkesan mengundang debat. Jatuh cinta pada orang yang tepat, dan kemudian berakhir indah dengan akad nikah sebagai pengikat, memang terasa begitu nikmat. Tetapi, nyata-nyatanya kita sering menjumpai kisah-kisah orang yang jatuh cinta pada orang yang tidak tepat. Siapa yang disalahkan? Cintanya? Tentu tak bijak menyalahkan siapa-siapa. Karena, cinta itu memang sebuah perkara yang sangat misterius.

Dalam sejarah, kita mendapatkan berbagai fenomena “jatuh cinta yang tak tepat”, dan ternyata penyelesaian dari problem “berbahaya” itu berpengaruh terhadap kesuksesan si pecinta itu. Ada yang berhasil mengeksekusi dengan baik, ada yang jatuh bangun, bahkan ada yang akhirnya mentahbiskan diri sebagai pecundang sejati.


Jatuh cinta yang “tak tepat”, telah membuat Trium Virat—penguasa yang paling digdaya di negara adi kuasa saat itu, Imperium Romawi, porak-poranda. Gegara tergila-gila pada Cleopatra, Ratu Mesir yang terkenal sangat cerdas jelita, Antonius tega membunuh Lepidus, sahabat sejatinya. Antonius juga manut-manut saja ketika diminta Cleopatra untuk melawan Octavianus, yang juga sahabat Antonius. Persahabatan tiga serangkai itu—Lepidus, Antonius dan Octavianus, harus porak-poranda hanya karena seorang Ratu Mesir yang pesonanya juga pernah memikat Julius Caesar, pemimpin besar Romawi sebelum mereka bertiga berkuasa. Julius yang sudah punya permaisuri bernama Calpurnia, tetap nekad memburu cinta Cleopatra.

Jatuh cinta yang tak tepat, ternyata juga bisa menimpa orang-orang shalih. Umar bin Abdul Aziz misalnya, dia jatuh cinta kepada budak istrinya. Meskipun akhirnya berhasil melewatinya, Umar Bin Abdul Aziz harus melewati hal-hal yang tersulit dalam hidupnya: mengendalikan hawa nafsunya. Sang Khalifah ini awalnya terkenal memiliki ‘lifestyle’ yang ‘wow’. Dia pesolek, bajunya selalu mahal, gayanya menawan, dan dia jatuh cinta begitu mendalam kepada seorang budak istrinya, Fathimah bin Abdul Malik. Berkali-kali dia meminta kepada Fathimah agar budak itu diberikan kepadanya. Namun Fathimah menolak karena sangat cemburu.

Namun, Khalifah Umar bin Abdul Aziz berubah total ketika telah menjadi khalifah. Beliau berubah menjadi sangat zuhud, adil dan begitu amanah dengan tugasnya. Seluruh kekayaan dia sumbangkan ke Baitul Maal dan menjadi milik masyarakat. Ketika dia sudah begitu kelelahan, sang istri jatuh kasihan, dan akhirnya menyerahkan budak perempuannya kepada Umar. Tetapi, apa yang dilakukan Umar? Dengan tegas Umar menolaknya. Bahkan, Umar menikahkan budak perempuan jelita itu dengan prajuritnya.

Sang budak, yang sebenarnya juga mencintai Umar, sangat sedih dan menangis di hadapan Umar, “Jadi, mana bukti cintamu padaku, wahai Amirul Mukminin?”
Jawab Umar, “Cinta itu tetap ada di dalam hatiku, bahkan jauh lebih kuat daripada yang dahulu-dahulu. Akan tetapi, kalau aku menerimamu, aku khawatir tidak termasuk dalam golongan orang yang “menahan dirinya dari keinginan hawa nafsu” sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dalam Q.S. An-Nazi’at ayat 40 – 41.”

Beginilah bunyi ayat yang membuat Umar takut sekali menerima sosok yang sebenarnya sangat dirindukannya itu,

“…dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).”
(An-Nazi’at: 40 – 41).

Terus terang, saya benar-benar terenyuh membaca kisah Umar bin Abdul Aziz ini. Coba, renungi kalimat ini, Cinta itu tetap ada di dalam hatiku, bahkan jauh lebih kuat daripada yang dahulu-dahulu. Romantis sekali, bukan? Dan Umar memiliki kesempatan untuk mengekspresikan cinta itu secara halal. Istri pertamanya pun telah ridho. Namun, Umar tak mau melakukannya, karena dia tak mau dimasukkan dalam kategori orang yang tak mampu menahan diri dari hawa nafsunya.

Thalhah bin Ubaidillah, salah seorang sahabat Rasulullah yang utama, juga pernah mengalami jatuh cinta yang tak tepat. Tak tanggung-tanggung, yang dia cintai adalah Aisyah Binti Abu Bakar, istri kesayangan Rasulullah SAW.

Seperti ditulis oleh Syaikh Jalaluddin as-Suyuthi dalam Kitab Lubabun Nuqul Fi Ashabin Nuzul, diriwayatkan dari Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Sa’d yang bersumber dari Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm, bahwa suatu hari seorang lelaki (yaitu Thalhah), bertemu mendatangi salah seorang istri Rasulullah Saw (Aisyah) dam bercakap-cakap dengannya. Laki-laki itu adalah anak anak paman beliau. Ketika Rasulullah melihat hal tersebut, beliau berkata kepada laki-laki itu, “Jangan sampai engkau mengulangi tindakanmu itu untuk kedua kalinya!”
Laki-laki itu lalu berkata, “Wahai Rasulullah, ia adalah anak paman saya. Demi Allah, saya tidak mengucapkan kata-kata yang tidak baik kepadanya, demikian juga ia.”
Akan tetapi, Rasulullah balik berkata, “Engkau telah mengetahui bahwa tidak ada yang lebih pencemburu dibanding Allah, dan sesungguhnya tidak ada seorang pun yang lebih pencemburu dibanding saya.”

Laki-laki itu kemudian pergi. Setelah agak jauh ia berkata, “Bagaimana mungkin beliau melarang saya berbicara dengan anak wanita paman saya. Saya sungguh akan menikahinya sepeninggal beliau kelak.”

Rasulullah tentu tahu, bahwa Thalhah diam-diam mencintai Aisyah. Padahal, Aisyah adalah salah satu istri Rasulullah yang paling beliau cintai. Secara manusiawi, Rasulullah merasa cemburu dan mencoba memperingatkan Thalhah. Namun Thalhah bahkan mengatakan bahwa dia kelak akan menikahi Aisyah jika Rasulullah telah wafat.

Tentu ini sesuatu yang bisa dinalar. Thalhah lebih muda sekitar 25 tahun dibandingkan dengan Rasulullah, sementara Aisyah juga masih sangat muda. Akan tetapi, Allah SWT tak meridhai hal tersebut. Peristiwa inilah yang akhirnya menjadi asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya) Al-Quran Surat Al-Ahzab: 53 yang berbunyi: “…Dan tidak boleh kamu menyakiti hati Rasulullah dan tidak boleh mengawini istri-istrinya sesudah dia wafat untuk selamanya….”

Begitu ayat ini turun, Thalhah sangat terpukul dan segera bertaubat. Ibnu Abbas berkata, “Sebagai bentuk penyesalan dan tobatnya terhadap ucapannya di atas, laki-laki itu (Thalhah) pun kemudian memerdekakan seorang budak, menginfakkan hartanya di jalan Allah seberat yang bisa diangkut sepuluh ekor unta, serta menunaikan haji dengan berjalan kaki.”[1]
Kita bisa mengukur berapa kira-kira harta yang diinfakkan oleh Thalhah, yang jumlahnya bisa diangkut 10 ekor unta!

Akan tetapi, rasa cinta yang mendalam itu tak juga pergi dari Thalhah. Salah satu puteri Thalhah, dia beri nama Aisyah. Dan sang puteri itu, Aisyah binti Thalhah, dikenal sebagai seorang gadis yang sangat cantik jelita. Dia berguru pada bibinya Aisyah binti Abu Bakar, dan terkenal sebagai salah satu tabi’in dan periwayat hadist yang terpercaya.

Jadi, jatuh cinta pada orang yang tak tepat itu adalah sesuatu yang wajar terjadi.

Permasalahannya adalah bagaimana pengendalian diri kita. Orang-orang beriman, akan menganggap hal tersebut sebagai suatu ujian yang harus diatasi. Lihatlah, bagaimana sikap yang diambil oleh Umar bin Abdul Aziz dan Thalhah. Luar biasa! Cinta tak harus membuat mereka terhina sebagai hamba Allah yang ekstrim mengumbar keinginan. Sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Antonius yang justru tega mengkhianati kawan-kawannya.

Anda pernah jatuh cinta pada orang yang tak tepat? Tinggal pilih, mau jadi Umar, Thalhah, atau jadi Antonius. Hidup adalah pilihan. Tetapi, siap-siap saja dengan risiko yang harus Anda tanggung...


@Afifah Afra
LIKE & SHARE

0 Response to "Jatuh Cinta Pada Orang yang Tidak Tepat"

Post a Comment