Renungan BERBHINEKA secara JUJUR dengan kepekaan HATI NURANI

Renungan BERBHINEKA secara JUJUR dengan kepekaan HATI NURANI

Renungan BERBHINEKA secara JUJUR dengan kepekaan HATI NURANI

Surat yang dihapus …

Pagi tanggal 19 November 2016, saya menuliskan status Facebook dibawah ini. Ternyata menarik banyak orang urun pendapat dan berdiskusi, namun ada juga yang tidak sepakat.

Sayangnya, belum juga berumur 24 jam, ada pihak2 yang melaporkan tulisan tersebut ke Facebook. Lalu saya mendadak terlogout dan keluar notifikasi dari Facebook Community. Dan lenyaplah postingan tersebut.

Atas kebaikan hati banyak orang, saya mendapatkan versi aslinya. Terima kasih. Berikut tulisannya dan selamat membaca.

——

Menanggapi keterlibatan Keuskupan Agung Jakarta pada Parade tanggal 19 November 2016.

Tanggal 28 September 2016, setelah penggusuran Bukit Duri, saya menuliskan seruan domba kepada gembala saya, yaitu Uskup Agung Jakarta. Bagi yang mengetahui bahwa saya menulis surat tersebut kerap meminta saya agar membuatnya juga menjadi surat terbuka, terlebih setelah tidak ada tanggapan sama sekali dari KAJ.

Kemarin saya membaca tanggapan KAJ terhadap aksi tanggal 19 November (hari ini) dan keterlibatan romo-romo. Karena itu akhirnya saya memutuskan membuka surat ini kepada umum.
Disaat institusimu dan agamamu kemungkinan mendapatkan ancaman, kalian cepat dan tanggap sekali bereaksi. Namun ketika kaum-kaum yang dikasihi Tuhanmu terus menerus tergusur dan mengalami kekerasan, kamu diam.

——-

Jakarta, 28 September 2016

Kepada Yth.
Uskup Agung Jakarta
Mgr. Ignatius Suharyo
Keuskupan Agung Jakarta

Salam damai,

Perkenalkan nama saya Cornelia Elisa Sutanudjaja. Saya menuliskan seruan ini untuk disampaikan kepada Uskup Agung Jakarta, Mgr. Ignatius Suharyo, selaku gembala umat Katolik dan perwakilan Paus Fransiskus I di Keuskupan Agung Jakarta.

Saya memaparkan kejadian biadab yang terus terulang di Jakarta yang berlawanan dengan prinsip cinta kasih dan kemanusian. Dalam 13 bulan ke belakang, saya menyaksikan 4 penggusuran dengan mata saya sendiri. Saya menyaksikan penggusuran Kampung Pulo, dengan ribuan aparat dan belasan alat berat meratakan rumah-rumah warga. Saya menyaksikan puluhan truk-truk berisikan ribuan aparat gabungan meninggalkan Kalijodo paska meratakan Kalijodo yang telah berusia lebih dari 2 abad. April 2016, saya menyaksikan aparat dan alat berat meratakan Kampung Pasar Ikan dan Aquarium sambil diiringi tangisan dan gema Allahuakbar para ibu.

Dan hari ini, saya kembali menyaksikan penggusuran di Bukit Duri dengan ratusan aparat melawan 100an keluarga. Saya hanya berjarak 5 meter dari alat berat, dan menyaksikan menghancurkan rumah satu-persatu tanpa mempedulikan sejarah panjang, kehidupan sosial ekonomi dan budaya yang sudah mengakar lebih dari 1 abad di Bukit Duri. Di saat bersamaan, warga-warga Bukit Duri berusaha mendapatkan keadilan dengan berproses di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara pada saat penggusuran terjadi.
Saya menyaksikan bagaimana alat berat menghancurkan pelan-pelan Sanggar Ciliwung Merdeka yang didirikan Bapak Sandyawan Sumardi, yang adalah bagian dari keluarga Katolik, seperti saya dan anda.

Selama 13 bulan ini, sama sekali saya tidak mendengar suara Keuskupan Agung Jakarta terhadap penggusuran yang terjadi di Jakarta. Dalam tahun 2015, menurut data LBH Jakarta, telah terjadi 113 kasus penggusuran paksa, yang melibatkan aparat Satpol PP, Kepolisian hingga Militer. Penggusuran Pasar Ikan sendiri membawa 4000 aparat gabungan. Sebagai umat Katolik saya bertanya, dimanakah Gereja Katolik? Dimana posisi Gereja Katolik dalam membela hak hidup manusia, terutama kaum miskin yang selama ini menjadi prioritas Tuhan Yesus Kristus? Sementara di saat bersamaan, ada pastur di salah satu gereja yang alih-alih membangun solidaritas terhadap rakyat miskin malah menggunakan jubahnya untuk mengkampanyekan Gubernur.

Dalam ensiklik luar biasa yang dikeluarkan oleh Paus kita, Laudato Si, tertulis jelas: 152. Lack of housing is a grave problem in many parts of the world, both in rural areas and in large cities, since state budgets usually cover only a small portion of the demand. Not only the poor, but many other members of society as well, find it difficult to own a home. Having a home has much to do with a sense of personal dignity and the growth of families. This is a major issue for human ecology. In some places, where makeshift shanty towns have sprung up, this will mean developing those neighbourhoods rather than razing or displacing them. When the poor live in unsanitary slums or in dangerous tenements, “in cases where it is necessary to relocate them, in order not to heap suffering upon suffering, adequate information needs to be given beforehand, with choices of decent housing offered, and the people directly involved must be part of the process”.[118] At the same time, creativity should be shown in integrating rundown neighbourhoods into a welcoming city: “How beautiful those cities which overcome paralyzing mistrust, integrate those who are different and make this very integration a new factor of development! How attractive are those cities which, even in their architectural design, are full of spaces which connect, relate and favour the recognition of others!”[119]
Dalam ensiklik tersebut, total jumlah kata miskin dan kemiskinan adalah 71 kata, menunjukkan betapa besar prioritas ensiklik dan Paus Fransiskus i terhadap kaum miskin.

Selama ini praktek penggusuran yang terjadi di DKI Jakarta sangat berlawanan dengan apa yang diharapkan dalam Ensiklik, bahwa seharusnya rumah adalah bagian dari martabat manusia. Dan jikapun kondisi permukiman ada pada kondisi yang memungkinkan, upaya relokasi harus menjadi alternatif terakhir dengan syarat-syarat yang demikian berat. Bahkan tidak ada satu kata penggusuran paksa dalam Ensiklik ini.

Sudah begitu banyak penggusuran terjadi, hingga akhirnya hanya seperti statistik saja, sementara Gereja Katolik sebagai pembela orang miskin hanya diam menyaksikan. Karena itu saya sebagai umat Katolik dan intelektual publik, mendesak Uskup Agung Jakarta dan Gereja Katolik untuk bersikap tegas sesuai dengan mandatnya untuk melindungi kaum miskin dan terpinggirkan.

Salam hormat,
Elisa Sutanudjaja

—–

Red. Bagi yang bertanya-tanya kenapa saya menghubungkan Parade 19 Nov dengan surat saya diatas, maka ada berbagai alasan:
1. Alasan pertama sudah saya ungkapkan diatas
2. Namun bukan berarti saya tidak menyetujui kampanye kebhinnekaan, saya menyoroti dan mengkritisi sikap Uskup dan romo2 dlm Parade 19 Nov yang menurut saya sangat berpotensi memperlebar polarisasi yg saat ini sudah sangat genting
3. Saya mulai meragukan misi Gereja Katolik (sebagai institusi), dengan membandingkan 2 hal, termasuk paska merenungi apa yang terjadi pada Romo Magnis seperti komentar Evi Mariani Sofian dibawah
4. Mengapa saya memilih Laudato Si dan bukannya ayat2? Jawabannya sangat mudah, Laudato Si sudah gamblang dan berkonteks sekarang, sementara ayat masih penuh tafsir. Mari bicara isi dan konteks masa kini.
5. Yang namanya Bhinneka itu bukan cuma SARA saja, golongan dan ekonomi termasuk. Tanpa Keadilan Sosial tidak ada Bhinneka Tunggal Ika.

Red.

Karena asal muasal surat ini dimuat dalam status FB, maka ada komentar di bawah yang menjadi keterangan terhadap status ini, yaitu salah satu komentar dari Evi Mariani.

Evi Mariani Sofian menuliskan ini:
Romo Magnis pada 2003 menulis kritik sangat keras pada Sutiyoso tentang penggusuran. Dua minggu lalu saya bertemu beliau dan Romo mengatakan sikap dia terhadap penggusuran masih sama. Menolak tegas. Hanya dia tidak mau dipolitisasi. Saya menghormati pilihan beliau. Saya kira Romo akan cukup bijak untuk tidak ikut parade hari kni karena beliau bisa melihat hari ini sarat politis. Fb
LIKE & SHARE

0 Response to "Renungan BERBHINEKA secara JUJUR dengan kepekaan HATI NURANI "

Post a Comment